Alamat Majelis :
Jalan Syekh A Somad Lorong Kemartan 22 ilir Palembang
Belakang Universitas Bina Husada

Senin, 29 April 2013

7 Jenis Wajah Mayat Di Dalam Kubur

7 jenis wajah mayat di dalam kubur:

1.Mayat yang mukanya berpaling dari arah kiblat. Itulah petanda bahwa semasa hidupnya telah melakukan perkara syirik kepada Allah. Syirik ini jangan buat main-main, dosa yang paling besar dalam Islam.Kekal dalam nerakaselama-lamanya.

2.Mayat yang mukanya berbentuk babi . Itulah petanda semasa hidupnya tidak melakukan sholat lima waktu, tidak menjaga sholat lima waktu. Lalai dalam sholatnya.Sesungguhnya sholat dapat mencegah diri dari melakukan perbuatan kejidan mungkar. Perbuatan keji dan mungkar ini banyak. Berduaan di tempat gelap, minum arak, berjudi sahaja.Tak tutup aurat juga perbuatan keji.Bayangkanle sejak dari baligh lagi kawan-kawan tak pernah tutup aurat, berapa banyak dosa yang telah dikumpulkan.Siksa api neraka amat pedih. Wahai…Kalau kawan-kawan mau tahu bagaimana rasa 1/70 api neraka kawan-kawan cuba sentuh ujung jari kawan-kawan dgn api, macam mana rasanya ?

3.Mayat yang kepalanya menjadi batu yang hitam legam. Itulah mayat yang semasa hidupnya durhaka kepada kedua orang tua.

4.Mayat yang perutnya buncit dan meletup. Itulah mayat yang semasa hidupnya suka makan harta yang haram.Harta yang haram banyak contohnya. Antaranya mencuri, Merampok, korupsi., dan lainnya.

5.Mayat yang kukunya mengcengkam dan meliliti seluruh tubuhnya. Itulah mayat yang semasa hidupnya suka berkelahi, mengatai orang dan mengumpat orang.

6. Mayat yang keluar mata air dari kuburnya dan air itu baunya lebih busuk dari bangkai.  Itulah mayat orang yang suka makan riba'.

7.Mayat yang wajahnya tersenyum. Itulah mayat yang semasa hidupnya berilmu dan beramal soleh.


Note: Kisah ini diperoleh dari kaset ceramah "wajah mayat" oleh Ustz. Kazim bin Elias.

Fathimah Az-Zahra: Ummul Masâkîn


Terlihat di tengah kota Makkah ada rumah sederhana sedang digelayut awan haru. Suasana sepi mencekam isi rumah itu. Yang terdengar hanya doa-doa suci bersuara lirih. Fathimah menatap sedih ke arah dua bocah manis yang sedang tergeletak lemah tidak berdaya. Bibirnya bergetar menahan haru. Hasan dan Husain sedang sakit. Matanya berhias cekung dan badannya menipis kurus. Di sudut matanya menyimpan butir air mata yang menahanrasa sakit di sekujur tubuhnya. Demam tinggi menahan dua putra mulia ini untuk tetap diam pada pembaringannya. Rasa khawatir yang panjang makin mendera hati Fathimah tatkala suara menahan sakit putranya terdengar mengaduh. Perlahan Fathimah menggerakkan tubuhnya, ia peluk kedua putranya dengan perasaan iba. Air mata Fathimah makin menderai ketika ia sering mendengar suara pilu terbata-bata karena menahan sakit. Pelukan Fathimah makin merapat dengan harapan agar beban yang menghimpit belahan jiwanya tidak semakin bertambah. Tapi, mereka masih saja meringis, menahan sakit yang tidak bisa dilawannya.

Dekapan hangat tubuh Fathimah terusik, ketika terdengar suara salam dan pintu terketuk. Perlahan Imam Ali bangkit dari duduknya, lalu dibukanya pintu itu. Dibalik pintu Imam Ali menyaksikan Rasul dan para sahabat datang berkunjung. Mengetahui Rasul yang datang, Fathimah segera menyambutnya. Ia menanyakan perihal kabar bapaknya. Begitu juga Rasul menanyakan kesehatan cucunya. Usai melihat Hasan-Husain, salah seorang sahabat Nabi berkata pada Fathimah dan Imam Ali, ”Wahai Abu Hasan, kalau engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan sakit mereka.”

Imam Ali berkata, ”Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.” Perkataan yang sama terucap dari bibir Fathimah, ”Begitu juga aku, aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukurku.” Ucapan yang sama disusul oleh Hasan-Husain dan Fidhdhah, pelayannya.

Dengan keagungan sumpah mereka, tak lama dari kejadian itu, Allah menyembuhkan sakit Hasan dan Husain. Keluarga agung itu pun memenuhi janjinya, berpuasa tiga hari. Ketika mereka akan memulai puasanya, tidak ada sedikit pun makanan yang mereka miliki, bahkan sepotong kurma pun tidak ada. Mereka tetap melaksanakan puasanya tanpa bekal makanan di waktu sahur. Di pagi hari, usai shalat dan zikir, Imam Ali bergegas untuk mencari bekal buat berbuka. Ia pergi mendatangi seorang Yahudi bernama Syam’un, ”Apakah engkau dapat memberikan kepadaku bulu domba untuk dipintal oleh putri Muhammad dengan upah tiga sha’ gandum?” Orang Yahudi itu mengangguk dan memberikan kepada Imam Ali bahan wol dan tiga sha’ gandum. Fathimah datang menyambut kehadiran suaminya, Ia menerima dan memintal bahan wol itu sesuai pesanan. Menjelang sore Fathimah mempersiapkan gandum untuk ditumbuk dan dijadikan roti.

Usai salat Maghrib dan zikir, ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka, tiba-tiba mereka mendengar rintihan pilu seorang miskin, ia berdiri rapuh di depan pintu. Matanya sayu dan pakaiannya dipenuhi dengan debu. Bibirnya yang kering berkata, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Muhammad, aku seorang miskin dari kaum muslim. Sudah beberapa saat aku tidak menemukan makanan. Sudikah engkau memberikan makanan yang kalian miliki, semoga Allah membalasnya dengan makanan surga.” Ada rasa khawatir yang mendalam pada hati Imam Ali dan Fathimah. Imam Ali menatap nanap Fathimah seraya berkata, ”Wahai Fathimah, perempuan mulia dan beriman teguh. Putri manusia agung di muka bumi. Di hadapan kita berdiri seorang miskin dan sengsara, merintih pedih menahan lapar.” Dengan iba Fathimah berucap, ”Wahai putra paman, perintahmu aku taati. Aku tak menyesal dan mencelamu. Engkau telah berikan makanan dengan sifat murahmu. Kuberikan juga makananku di jalan Allah meskipun lapar meradang perutku.” Segera Fathimah bangkit dan memberikan seluruh makanan yang terdapat di atas meja. Tidak ada makanan yang tersisa sedikit pun. Malam itu mereka tidur dalam keadaan perut yang lapar. Keesok harinya mereka berpuasa lagi tanpa buka dan sahur sebelumnya. Mereka hanya minum segelas air putih saja.

Pada puasa hari kedua Fathimah kembali membuat roti dari sisa gandum yang kemarin untuk bekal berbuka. Ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka di hari itu, seorang anak datang dan berdiri di depan pintu, dari mulutnya yang pecah tergagap suaranya yang lembut, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Nabi, Berilah aku makanan dari apa yang kalian makan.” Ia sebut dirinya seorang yatim dari kaum muslim. Imam Ali berkata, ”Wahai Fathimah, putri Rasulullah, yang mulia dan dermawan, Allah telah mengutus anak yatim kepada kita. Siapa yang hari ini mengharap rida Tuhan. Kelak tempatnya adalah surga dengan nikmat yang tak terhingga.” Fathimah menyambut ucapan suaminya, ”Ia pasti kuberi, dengan kerelaan yang tulus, tak peduli keadaan kita sendiri. Sama sepertiku, mereka akan bermalam dalam keadaan lapar. Dan si kecil dengan laparnya akan syahid di medan tempur.” Dari tangannya yang lembut,yang sering dicium bibir Rasul, ia berikan semua makanan yang ada. Kebahagiaan terpancar di roman muka anak yatim itu, ia makan dengan sangat lahap dan hilanglah rasa perih yang menusuk perutnya. Mata haru dan rasa bahagia menyelimuti keluarga Fathimah ketika menyaksikan kebahagiaan memenuhi hati anak itu.

Menjelang hari ketiga, tidak ada sedikit makanan pun yang tersentuh oleh bibir-bibir yang mulia itu, sahur dilaluinya dengan zikir dan rasa lapar. Hari ketiga dilewati oleh Fathimah dengan menumbuk sisa gandum untuk dibuatnya roti. Tangannya yang lelah melepuh karena menahan berat menggiling gandum.Wajahnya tampak pucat dan sayu. Tinggal sedikit saja sisa tenaganya yang ada. Sedangkan Hasan dan Husain masih tetap bertahan menahan rasa lemas dan lapar. Kekhawatiran meronakan wajah Imam Ali. Perjuangan yang berat hampir selesai. Setelah mereka membasahi bibirnya dengan zikir dan shalat, mereka berkumpul untuk melepas ikatan puasa, berbuka. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan mendendangkan ungkapan kepedihan, ”Salam sejahtera tercurah selalu bagimu, wahai Ahli Bait Nabi.” Suaranya kecil dan tersendat-sendat. ”Orang kafir telah menawanku berhari-hari, aku disekap tanpa minum dan makan. Rasa lapar membahana perutku. Sudikah kalian memberikan makanan untukku.” Imam Ali mempersilahkannya masuk, seraya berkata kepada Fathimah, “Duhai Fathimah putra Ahmad, putra agung dan dermawan, tanpa ada yang menunjukkan ke sini, tawanan
itu datang dengan bekas belenggu di tangan. Ia mengeluh lapar dan sengsara. Barangsiapa memberi makan orang yang sengsara, kelak akan memperoleh balasan yang sama dari sisi Allah. Setiap orang yang menanam,
pasti ia akan menuai hasilnya.” Fathimah bergumam, ”Gandum tinggal setakar. Tanganku melepuh karena gilingan. Demi Allah, inilah dua anakku sudah terlampau lapar. Ya Allah jangan binasakan mereka hingga aku kehilangan mereka.” Tanpa ragu Fathimah memberikan semua makanan. Pribadinya yang tulus dan ikhlas, yang selalu iba jika melihat ada orang yang lapar, membawanya menyerahkan semua makanan yang ada.

Mereka tidur dalam keadaan lapar lagi. Begitu pula di hari keempatnya. Perut mereka selalu dilewati dengan lapar, dan hal itu sering terjadi setiap hari-hari yang dilalui keluarga suci itu. Tidak ada makanan sedikit pun yang menjemput malam di atas meja rumah mereka. Fathimah tidak pernah lama-lama menyimpan makanannya di dalam lemari. Sifat dermawan dan cinta kasihya pada kaum mustadh’afin mengantarkannya untuk selalu memberi dan tanpa pamrih.

Setelah peristiwa itu, Imam Ali dan kedua putranya pergi menuju rumah Rasulullah dengan membawa beban lapar dan tubuh yang menggigil. Ketika Rasul melihat mereka, Rasul berkata, ”Wahai Abu Hasan, ada apakah dengan mukamu yang pucat dan tubuhmu yang menggigil. Sungguh, aku sangat mencemaskanmu dan kedua cucuku.” Segera Imam Ali menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya. Rasulullah mengajak Imam Ali untuk menemui Fathimah. Sesampai di rumah dilihatnya Fathimah sedang duduk bersimpuh. Kondisinya sangat mengkhawatirkan Rasulullah. Perutnya kempis karena menahan lapar yang panjang. Begitu juga dengan matanya yang tampak cekung karena menahan pening yang mendera kepalanya. Rasul segera mendekap tubuhnya dengan erat, seraya menjerit, ”Apakah keluarga Muhammad akan mati karena kelaparan?” Tubuh Rasul masih saja berguncang dan bergetar menahan haru. Air mata pilu jatuh membasah pundak Fathimah. Sampai-sampai malaikat pembawa wahyu datang dan menyampaikan pujian istimewa kepada Muhammad dan Ahli Baitnya yang tertulis dalam surat Al-Insan 5-22.

Kecintaan Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih saudara kita yang menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita?

Kecintaan Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih tetangga kita yang menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita? Ketabahan dan kecintaanmu pada kaum miskin adalah hiasan mulia hati sucimu. Di balik hatinya yang lembut, ia selalu terbayang akan perkataan ayahnya, ”Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah penyakit yang tidak terdapat dalam diri seseorang yang mulia. Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah sebatang pohon di neraka dan dahan-dahannya ada di dunia. Barangsiapa yang bergantung pada salah satu dahannya, maka ia akan memasukannya ke dalam api neraka.” Fathimah adalah sosok perempuan yang mulia. Kemuliaannya ia buktikan dengan memenuhi seluruh jiwanya dengan sikap dermawan dan menghindari kekikiran. Suatu saat, ketika Fathimah akan menikah, Rasul pernah membuatkan sehelai baju untuknya. Waktu itu Fathimah hanya memiliki beberapa pakaian saja. Baju terbaik yang dimilikinya ketika itu adalah baju yang penuh dengan tambalan. Karena itu Rasul hadiahkan baju kepada anaknya untuk dikenakan pada hari pernikahannya. Menjelang beberapa hari pernikahannya, suatu pagi di depan pintu berdiri seorang papa. Ia mematung sepi. Perlahan ia berkata, ”Wahai Fathimah, adakah sehelai baju yang layak bagiku untuk melindungi tubuhku ini,” Fathimah teringat firman Allah, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Al-Imran 92).

Segera Fathimah memberikan baju baru pemberian ayahnya itu dengan ketulusan hatinya yang dalam. Menjelang pernikahan Fathimah, malaikat Jibril datang dan memberinya sehelai baju yang terbuat dari sutra hijau. Dialah Fathimah, sosok ibu bagi kaum miskin. Dia yang memberikan segalanya pada kaum papa di saat kesulitan menghimpit diri dan keluarganya. Ia berikan kebahagiaan tanpa pamrih dan harap. Bahkan ia rela menahan lapar yang panjang untuk senyum kebahagiaan orang lain. Dialah pengayom dan tempat berlindung kaum mustadh’afin dari berbagai kesulitan. Dialah perempuan sederhana penuh karisma. Dialah bunda mulia pelipur lara. Sudahkah sebagian dari kita mencoba menjadi bunda seperti halnya Fathimah, selain bunda bagi putra-putranya? Ibu yang memiliki kepribadian tulus yang selalu mencintai dan memberi kebahagiaan kepada kaum miskin, seperti halnya Fathimah Az-Zahra. 

Salam bahagia bagimu, ya Sayyidah Fathimah..
bantulah kami dengan doa-doamu kepada Allah..
agar kami bisa berakhlak mulia sepertimu..
dan menapak jalan kemuliaan dengan kecintaan..
kepada kaum miskin setiap saat.
Kebahagiaan dan kasih s

Aminah Ibunda Nabi SAW


Aminah Ibunda Nabi
SEKUNTUM MAWAR DARI BANI ZUHRAH

Tak banyak sejarawan yang mengupas masa hidupnya, namun nama ini senantiasa semerbak bersama hembusan angin keindahan. Perjalanannya yang indah nan suci telah mengukir perubahan besar perputaran zaman. Siapa yang tak kenal Bani Hasyim; karena dari kabilah inilah Nabi SAW dilahirkan. Siapa pula yang tak kenal Bani Zuhrah; sebuah kabilah yang pernah menyimpan wanita suci dan mulia, karena dari rahimnya lahir sebuah cahaya agung yang membawa pembaharuan besar di dunia ini, Aminah binti Wahab Ibunda Rasululllah SAW.

Mungkin sulit untuk diketahui kapan dan bagaimana kelahiran serta kehidupan Sayidah Aminah sampai menjelang masa perkawinannya dengan Sayid Abdullah, karena para sejarawan tidak banyak menceritakan masalah ini. Namun yang jelas Wanita Arab waktu itu terbagi menjadi dua kelompok:

Kelompok pertama, adalah wanita yang dikenal oleh kaum pria dan mereka pun mengenal kaum pria. Wanita semacam ini biasanya mempunyai keahlian dalam beberapa pekerjaan dan mereka pulalah yang memberi semangat kaum lelaki di saat terjadi peperangan. Para pemuda yang menikah dengan wanita semacam ini biasanya disebabkan melihat dan mendengar secara langsung.

Kelompok kedua, adalah para wanita yang tidak dikenal oleh kaum pria dan mereka pun tidak mengenalnya selain kaum lelaki dari keluarga dekatnya sendiri. Para Pemuda Arab yang meminang wanita semacam ini disebabkan kemuliaan dan iffah-nya (kesucian). Wanita semacam ini senantiasa menerima pujian dan sanjungan di setiap masa.

Perumpamaan wanita semacam ini di mata manusia tak bisa disamakan, kecuali dengan mutiara yang tersimpan sehingga tidak sembarangan orang dapat mengotorinya. Tak seorang pun mampu mengusik kemuliaan dan iffahnya, dari wanita semacam inilah bunga mawar Bani Zuhrah Aminah binti Wahab.
Sebab Perkawinan Sayyidah

Para sejarawan dan ahli hadits telah meninggalkan kisah berharga tentang sebab musabab perkawinan Sayyidah Aminah dan Sayyid Abdullah. Ini telah membuktikan bahwa keluarga Abdul Muthalib tidak akan mengawinkan anaknya kecuali berdasarkan kemuliaan.

Ibnu Saad, Tabrani, dan Abu Naim meriwayatkan bahwa Abdul Muthalib bercerita: "Suatu saat kami sampai di negara Yaman saat perjalanan musim dingin, kami bertemu dengan seorang penganut kitab Zabur (Pendeta Yahudi) dia bertanya : "Kamu dari kabilah mana? Aku menjawab: "Dari Quraisy". Dari Quraisy mana? Kujawab: ?Bani Hasyim?. Kemudian Pendeta itu berkata: ?Bolehkah aku melihat salah satu anggota tubuhmu? ?Boleh saja asal bukan aurat?. Kemudian Pendeta itu melihat kedua tanganku dan berkata: "Aku bersaksi bahwa di salah satu tanganmu terdapat Malaikat dan tangan yang satunya terdapat kenabian, dan aku melihat hal ini pada Bani Zuhrah, bagaimana semua ini bisa terjadi?, aku menjawab: ?Tidak tahu?. Kemudian dia bertanya lagi: ?Apakah kamu mempunyai syaah??, ?Apa syaah itu?? tanyaku, ?Istri? jawabnya. ?Kalau sekarang aku tidak beristri?, ujar Abdul Muthalib, kemudian Pendeta itu berkata: "Kalau engkau pulang kawinlah dengan salah satu wanita dari mereka?. Setelah pulang ke Mekah Abdul Muthalib kawin dengan Hallah binti Uhaib bin Abdul Manaf. Dan mengawinkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab. Setelah itu orang-orang Quraisy berkata: "Abdullah lebih beruntung dari Ayahnya?.

Baihaqi dan Abu Nuaim meriwayatkan dari Ibn Syihab, bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah lelaki yang tampan. Suatu saat dia keluar ke tempat wanita-wanita Quraisy, salah satu dari mereka berkata: "Apakah di antara kalian ada yang mau kawin dengan pemuda ini? sehingga nanti kejatuhan cahaya, karena aku melihat cahaya di antara kedua belah matanya?.

Zubair bin Bakar meriwayatkan, bahwa seorang para normal wanita yang bernama Saudah binti Zuhrah bin Kilab berkata pada orang-orang Bani Zuhrah: "Sesungguhnya di antara kalian terdapat seorang gadis yang akan melahirkan seorang Nabi, maka perlihatkanlah gadis-gadis kalian kepadaku". Kemudian para gadis Bani Zuhrah diperlihatkan satu persatu, hingga pada giliran Aminah, di saat dia melihat Aminah, Dia berkata: "Inilah wanita yang akan melahirkan seorang Nabi.

Demikianlah keadaan gadis Bani Zuhrah ini, dia hanya berada di dalam rumahnya, bergaul dengan keluarga dekatnya. Karena dia hanya merasakan ketentraman dan kedamaian dengan rasa malu dan sifat iffah yang dimilikinya.

Akhirnya timbul dalam ingatan Abdul Muthalib kejadian-kejadian yang dialami saat pergi ke Yaman tentang Bani Zuhrah. Maka timbullah niat mulianya. Maka dia bersama anaknya Abdullah bergegas menuju rumah keluarga Bani Zuhrah untuk menjalin kekeluargaan. Bagi keluarga Bani Zuhrah tidak ada alasan untuk menolak keinginan Abdul Muthalib, bahkan hal ini merupakan kehormatan baginya. Bani Zuhrah pun menerima lamaran Abdul Muthalib untuk menikahkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab dan dia sendiri pun kawin dengan saudara sepupu Aminah yaitu Hajjaj binti Uhaib.
Rumah Baru Itu

Maka dapat dibayangkan betapa bahaginya penduduk Quraisy menyaksikan perkawinan indah dari dua keluarga mulia itu. Terutama kedua mempelai, terpancar dari keduanya wajah yang berseri-seri. Harapan masa depan cerah menyinari perasaan keduanya. Setelah dilangsungkan pesta pernikahan, Abdullah tinggal di rumah Aminah selama tiga hari sebagaimana kebiasaan orang Arab waktu itu. Kemudian dia pulang ke rumahnya untuk menyambut kedatangan sekuntum mawar dari Bani Zuhrah yang akan dibawa oleh keluarganya untuk menempati rumah barunya.

Rumah baru itu adalah rumah kecil dan sederhana yang disiapkan oleh Abdul Muthalib untuk anak kesayangannya. Para sejarawan menyebutkan bahwa rumah itu mempunyai satu kamar dan serambi yang panjangnya sekitar 12 meter serta lebar 6 meter yang di dinding sebelah kanan terdapat kayu yang disediakan sebagai tempat duduk mempelai.

Aminah melangkah menatap rumahnya dengan tatapan perpisahan namun hatinya bahagia diliputi harapan kehidupan baru. Kemudian dia berangkat bersama orang-orang yang mengantarnya, dengan mengenakan gaun pengantin Aminah dan rombongan disambut oleh keluarga Abdullah. Pengantar lelaki masuk dan berkumpul di serambi sedangkan pengantar wanita memasuki ruangan pengantin. Pesta meriah dan sederhana pun dilaksanakan. Setelah walimah ala kadarnya para pengantar dan penyambut membubarkan diri, maka tinggallah dua mempelai yang dipenuhi rasa damai dan bahagia dengan dipenuhi seribu harapan di masa depan.

Tidak lama dari masa perkawinannya yang indah, Aminah mendapatkan berita gembira kehamilan dirinya yang berbeda dengan wanita pada umumnya. Dia dapatkan berita itu melalui mimpi-mimpi yang menakjubkan, bahwa dia telah mengandung makhluk yang paling mulia.

Dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Saad dan Baihaqi dari Ibn Ishak, dia berkata: Aku mendengar bahwa di saat Aminah hamil, ia berkata: ?Aku tidak merasa bahwa aku hamil dan aku tidak merasa berat sebagaimana dirasakan oleh wanita hamil lainnya, hanya saja aku tidak merasa haid dan ada seseorang yang datang kepadaku, ?apakah engkau merasa hamil?? Aku menjawab: tidak tahu. Kemudian orang itu berkata: ?Sesungguhnya engkau telah mengandung seorang pemuka dan Nabi dari umat ini, dan hal itu pada hari Senin, dan tandanya Dia akan keluar bersama cahaya yang memenuhi istana Basrah di negeri Syam, apabila sudah lahir berilah nama Muhammad?, Aminah berkata itulah yang mambuatku yakin kalau aku telah hamil. Kemudian aku tidak menghiraukannya lagi hingga di saat masa melahirkan dekat, dia datang lagi dan mengatakan kata-kata yang pernah aku utarakan. ?Aku memohon perlindungan untuknya kepada Dzat yang Maha Esa dari kejelekan orang yang dengki.?

Kemudian aku menceritakan semua itu kepada para wanita keluargaku, mereka berkata: ?Gantunglah besi di lengan dan lehermu?, kemudian aku mengerjakan perintah mereka, tidak lama besi itu putus dan setelah itu aku tidak memakainya lagi.
Sebelum Pacar Pengantin

Belum lama sepasang suami istri itu melalui hari-hari bahagianya dengan segala duka-cita, rasa cinta semakin menyatu, kini keduanya harus rela untuk berpisah, pasalnya: Abdul Muthalib telah menyiapkan sebuah kafilah yang harus dipimpin oleh anaknya yang baru kemarin merasakan manisnya kebahagian bersama istri untuk berniaga ke negeri Syam.

Tak ada alasan bagi pemuda seperti Abdullah untuk menolak perintah sang ayah yang sangat menyayanginya, meski hatinya tidak rela meninggalkan Aminah yang sedang hamil muda, terlebih lagi masa-masa itu adalah masa bulan madu bagi keduanya. Detik-detik perpisahan pun tiba, beberapa penduduk Quraisy telah bersiap-siap untuk berangkat, masing-masing dari mereka sibuk mengurusi barang dagangan yang akan dibawa, Bani Hasyim juga tak ketinggalan mempersiapkan segala keperluannya, namun di balik itu dua insan yang telah bersatu dalam kedamaian harus berpisah setelah mereguk madu kebahagiaan.

Semerbak wangi parfum pengantin masih tercium di rumahnya, jari-jemari tangan Aminah pun masih terlihat kemerah-merahan lantaran ukiran pacar masih ada di tangannya, tak ada yang tahu apa yang dilakukan dan dibicarakan keduanya, dalam detik-detik itu, tapi yang jelas keduanya harus rela merasakan pedihnya perpisahan setelah keindahan menyentuh sanubari mereka. Abdullah dengan langkah gontai tapi pasti keluar dari rumah sederhananya yang diikuti Aminah, di depan rumahnya Abdullah meninggalkan Aminah yang melepasnya dengan penuh harap, beberapa kalimat diucapkan untuk menenangkan hati di antara keduanya, padahal di balik itu keduanya tidak menyadari kalau itu adalah pertemuan terakhir.

Setelah Abdullah keluar dan bergabung dengan rombongannya tinggalah Aminah bersama dua orang wanita Bani Hasyim dan Bani Zuhrah yang rela menemaninya selama Abdullah belum pulang, keduanya memandang Aminah dengan pandangan iba, lantaran harus merasakan kesendirian, padahal keduanya tidak tahu masa depan Aminah.

Kisah kepergian Abdullah telah ditulis oleh para sejarawan. Ibnu Saad menceritakan; Abdullah bersama rombongan orang-orang Quraisy berangkat ke Syam untuk berniaga, setelah selesai berniaga mereka pulang melewati kota Madinah dan waktu itu Abdullah sakit kemudian Abdullah meminta agar meninggalkannya bersama kerabatnya dari Bani Najjar selama satu bulan, setelah rombongan sampai di Mekah Abdul Muthalib menanyakan keadaan Abdullah pada mereka, mereka menjawab: ?kami meninggalkannya bersama kerabat-kerabat Bani Najjar di Madinah karena dia sakit.

Setelah itu Abdul Muthalib mengutus anak tertuanya al-Harits untuk menjemputnya, setelah sampai di sana Abdullah sudah di kubur, mengetahui semua itu Abdul Muthalib dan seluruh keluarganya mengalami kesedihan yang luar biasa. Bukan hanya kesedihan karena kehilangan Abdullah yang mereka sayangi, namun lebih dari itu Abdullah telah meninggalkan kesedihan dalam jiwa seorang wanita Bani Zuhrah yang saat itu sedang hamil tua.

Tidak dapat dibayangkan Aminah, sebagai seorang istri yang baru merasakan kasih sayang seorang suami dan menunggu kelahiran buah hati pertamanya, Aminah sangat sedih dan merana dengan perpisahan yang tidak bisa harapkan lagi pertemuannya, tak dapat diungkapkan bagaimana kesedihan Aminah, seperti sejarah pun tidak sanggup mencatat kepiluannya kecuali dengan apa yang diungkapkan Aminah berupa bait-bait kesedihan.
Para Malaikat Bertahlil

Hari-hari Aminah lalui dengan kesedihan dan kesendirian, hanyalah Munajat pada sang Pencipta yang dia ucapkan dari bibir dan hatinya. Begitulah Aminah mengisi hari-hari menunggu kelahiran anaknya, tanpa kasih sayang seorang ayah, entah berapa tetes Air mata yang mengalir di wajah suci Aminah ketika dia mengingat calon bayinya tersebut.

Takdir Allah memang tidak bisa ditolak, ketentuannya tak bisa digugat, Maha Besar Allah dengan kehendak dan kekuasaannya yang menghendaki Manusia mulia dan suci keluar dari rahim Aminah. Detik-detik kelahiran anak Aminah ini sangat istimewa, betapa tidak! di malam itu Aminah didatangi wanita-wanita suci penghuni surga seperti Maryam dan Asyiah, dengan didampingi ribuan bidadari yang mengabarkan kepadanya, bahwa sebentar lagi akan keluar dari rahim sucinya seorang bayi mungil yang lucu nan suci, pemuka dari para Nabi dan kekasih Tuhan alam semesta.

Para Malaikat bertahlil dan bertasbih menyaksikan cahaya indah yang akan lahir di malam itu, maka lahirlah Rasulullah SAW dari rahim Aminah. Tak perlu diungkapkan bagaimana proses keagungan kelahiran Rasulullah secara mendetail, sebab para sejarawan telah menulis dengan panjang lebar kejadian ini, yang jelas Aminah sangat merasa bahagia dengan kelahiran anaknya ini, kepiluan, kesedihan, kesendirian dan kesepian kini telah sirna, yang ada hanyalah kebahagian dan kedamaian yang mengisi hari-hari Aminah setelah kelahiran anaknya. Kelahiran Rasulullah SAW bak setetes embun pagi yang menetes di sanubari Aminah. Bahkan bukan bagi Aminah saja namun bagi penghuni alam semesta. Betapa banyak makhluk Allah yang berharap merawat dan menatap wajahnya, para Malaikat dan bahkan hewan-hewanpun berebut untuk merawatnya. Namun takdir Allah menentukan hanyalah Aminah yang mendapat kemuliaan tersebut.

Hamid Jakfar Algadri

 
Admin
Silahkan Pilih
Login