Aminah Ibunda Nabi
SEKUNTUM MAWAR DARI BANI ZUHRAH
Tak banyak sejarawan yang mengupas masa hidupnya,
namun nama ini senantiasa semerbak bersama hembusan angin keindahan.
Perjalanannya yang indah nan suci telah mengukir perubahan besar perputaran
zaman. Siapa yang tak kenal Bani Hasyim; karena dari kabilah inilah Nabi SAW
dilahirkan. Siapa pula yang tak kenal Bani Zuhrah; sebuah kabilah yang pernah
menyimpan wanita suci dan mulia, karena dari rahimnya lahir sebuah cahaya agung
yang membawa pembaharuan besar di dunia ini, Aminah binti Wahab Ibunda
Rasululllah SAW.
Mungkin sulit untuk diketahui kapan dan bagaimana
kelahiran serta kehidupan Sayidah Aminah sampai menjelang masa perkawinannya
dengan Sayid Abdullah, karena para sejarawan tidak banyak menceritakan masalah
ini. Namun yang jelas Wanita Arab waktu itu terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok pertama, adalah wanita yang dikenal oleh
kaum pria dan mereka pun mengenal kaum pria. Wanita semacam ini biasanya
mempunyai keahlian dalam beberapa pekerjaan dan mereka pulalah yang memberi
semangat kaum lelaki di saat terjadi peperangan. Para
pemuda yang menikah dengan wanita semacam ini biasanya disebabkan melihat dan
mendengar secara langsung.
Kelompok kedua, adalah para wanita yang tidak
dikenal oleh kaum pria dan mereka pun tidak mengenalnya selain kaum lelaki dari
keluarga dekatnya sendiri. Para Pemuda Arab yang meminang wanita semacam ini
disebabkan kemuliaan dan iffah-nya (kesucian). Wanita semacam ini senantiasa
menerima pujian dan sanjungan di setiap masa.
Perumpamaan wanita semacam ini di mata manusia tak
bisa disamakan, kecuali dengan mutiara yang tersimpan sehingga tidak
sembarangan orang dapat mengotorinya. Tak seorang pun mampu mengusik kemuliaan
dan iffahnya, dari wanita semacam inilah bunga mawar Bani Zuhrah Aminah binti
Wahab.
Sebab Perkawinan Sayyidah
Para sejarawan dan ahli hadits telah meninggalkan kisah berharga tentang
sebab musabab perkawinan Sayyidah Aminah dan Sayyid Abdullah. Ini telah
membuktikan bahwa keluarga Abdul Muthalib tidak akan mengawinkan anaknya
kecuali berdasarkan kemuliaan.
Ibnu Saad, Tabrani, dan Abu Naim meriwayatkan bahwa
Abdul Muthalib bercerita: "Suatu saat kami sampai di negara Yaman saat
perjalanan musim dingin, kami bertemu dengan seorang penganut kitab Zabur
(Pendeta Yahudi) dia bertanya : "Kamu dari kabilah mana? Aku menjawab:
"Dari Quraisy". Dari Quraisy mana? Kujawab: ?Bani Hasyim?. Kemudian
Pendeta itu berkata: ?Bolehkah aku melihat salah satu anggota tubuhmu? ?Boleh
saja asal bukan aurat?. Kemudian Pendeta itu melihat kedua tanganku dan
berkata: "Aku bersaksi bahwa di salah satu tanganmu terdapat Malaikat dan
tangan yang satunya terdapat kenabian, dan aku melihat hal ini pada Bani
Zuhrah, bagaimana semua ini bisa terjadi?, aku menjawab: ?Tidak tahu?. Kemudian
dia bertanya lagi: ?Apakah kamu mempunyai syaah??, ?Apa syaah itu?? tanyaku,
?Istri? jawabnya. ?Kalau sekarang aku tidak beristri?, ujar Abdul Muthalib,
kemudian Pendeta itu berkata: "Kalau engkau pulang kawinlah dengan salah
satu wanita dari mereka?. Setelah pulang ke Mekah Abdul Muthalib kawin dengan
Hallah binti Uhaib bin Abdul Manaf. Dan mengawinkan anaknya Abdullah dengan
Aminah binti Wahab. Setelah itu orang-orang Quraisy berkata: "Abdullah
lebih beruntung dari Ayahnya?.
Baihaqi dan Abu Nuaim meriwayatkan dari Ibn Syihab,
bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah lelaki yang tampan. Suatu saat dia
keluar ke tempat wanita-wanita Quraisy, salah satu dari mereka berkata:
"Apakah di antara kalian ada yang mau kawin dengan pemuda ini? sehingga
nanti kejatuhan cahaya, karena aku melihat cahaya di antara kedua belah
matanya?.
Zubair bin Bakar meriwayatkan, bahwa seorang para
normal wanita yang bernama Saudah binti Zuhrah bin Kilab berkata pada
orang-orang Bani Zuhrah: "Sesungguhnya di antara kalian terdapat seorang
gadis yang akan melahirkan seorang Nabi, maka perlihatkanlah gadis-gadis kalian
kepadaku". Kemudian para gadis Bani Zuhrah diperlihatkan satu persatu,
hingga pada giliran Aminah, di saat dia melihat Aminah, Dia berkata:
"Inilah wanita yang akan melahirkan seorang Nabi.
Demikianlah keadaan gadis Bani Zuhrah ini, dia
hanya berada di dalam rumahnya, bergaul dengan keluarga dekatnya. Karena dia
hanya merasakan ketentraman dan kedamaian dengan rasa malu dan sifat iffah yang
dimilikinya.
Akhirnya timbul dalam ingatan Abdul Muthalib
kejadian-kejadian yang dialami saat pergi ke Yaman tentang Bani Zuhrah. Maka
timbullah niat mulianya. Maka dia bersama anaknya Abdullah bergegas menuju
rumah keluarga Bani Zuhrah untuk menjalin kekeluargaan. Bagi keluarga Bani Zuhrah
tidak ada alasan untuk menolak keinginan Abdul Muthalib, bahkan hal ini
merupakan kehormatan baginya. Bani Zuhrah pun menerima lamaran Abdul Muthalib
untuk menikahkan anaknya Abdullah dengan Aminah binti Wahab dan dia sendiri pun
kawin dengan saudara sepupu Aminah yaitu Hajjaj binti Uhaib.
Rumah Baru Itu
Maka dapat dibayangkan betapa bahaginya penduduk
Quraisy menyaksikan perkawinan indah dari dua keluarga mulia itu. Terutama
kedua mempelai, terpancar dari keduanya wajah yang berseri-seri. Harapan masa depan
cerah menyinari perasaan keduanya. Setelah dilangsungkan pesta pernikahan,
Abdullah tinggal di rumah Aminah selama tiga hari sebagaimana kebiasaan orang
Arab waktu itu. Kemudian dia pulang ke rumahnya untuk menyambut kedatangan
sekuntum mawar dari Bani Zuhrah yang akan dibawa oleh keluarganya untuk
menempati rumah barunya.
Rumah baru itu adalah rumah kecil dan sederhana
yang disiapkan oleh Abdul Muthalib untuk anak kesayangannya. Para
sejarawan menyebutkan bahwa rumah itu mempunyai satu kamar dan serambi yang
panjangnya sekitar 12 meter serta lebar 6 meter yang di dinding sebelah kanan
terdapat kayu yang disediakan sebagai tempat duduk mempelai.
Aminah melangkah menatap rumahnya dengan tatapan
perpisahan namun hatinya bahagia diliputi harapan kehidupan baru. Kemudian dia
berangkat bersama orang-orang yang mengantarnya, dengan mengenakan gaun
pengantin Aminah dan rombongan disambut oleh keluarga Abdullah. Pengantar
lelaki masuk dan berkumpul di serambi sedangkan pengantar wanita memasuki
ruangan pengantin. Pesta meriah dan sederhana pun dilaksanakan. Setelah walimah
ala kadarnya para pengantar dan penyambut membubarkan diri, maka tinggallah dua
mempelai yang dipenuhi rasa damai dan bahagia dengan dipenuhi seribu harapan di
masa depan.
Tidak lama dari masa perkawinannya yang indah,
Aminah mendapatkan berita gembira kehamilan dirinya yang berbeda dengan wanita
pada umumnya. Dia dapatkan berita itu melalui mimpi-mimpi yang menakjubkan,
bahwa dia telah mengandung makhluk yang paling mulia.
Dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Saad
dan Baihaqi dari Ibn Ishak, dia berkata: Aku mendengar bahwa di saat Aminah
hamil, ia berkata: ?Aku tidak merasa bahwa aku hamil dan aku tidak merasa berat
sebagaimana dirasakan oleh wanita hamil lainnya, hanya saja aku tidak merasa
haid dan ada seseorang yang datang kepadaku, ?apakah engkau merasa hamil?? Aku
menjawab: tidak tahu. Kemudian orang itu berkata: ?Sesungguhnya engkau telah
mengandung seorang pemuka dan Nabi dari umat ini, dan hal itu pada hari Senin,
dan tandanya Dia akan keluar bersama cahaya yang memenuhi istana Basrah di
negeri Syam, apabila sudah lahir berilah nama Muhammad?, Aminah berkata itulah
yang mambuatku yakin kalau aku telah hamil. Kemudian aku tidak menghiraukannya
lagi hingga di saat masa melahirkan dekat, dia datang lagi dan mengatakan
kata-kata yang pernah aku utarakan. ?Aku memohon perlindungan untuknya kepada
Dzat yang Maha Esa dari kejelekan orang yang dengki.?
Kemudian aku menceritakan semua itu kepada para
wanita keluargaku, mereka berkata: ?Gantunglah besi di lengan dan lehermu?,
kemudian aku mengerjakan perintah mereka, tidak lama besi itu putus dan setelah
itu aku tidak memakainya lagi.
Sebelum Pacar Pengantin
Belum lama sepasang suami istri itu melalui
hari-hari bahagianya dengan segala duka-cita, rasa cinta semakin menyatu, kini
keduanya harus rela untuk berpisah, pasalnya: Abdul Muthalib telah menyiapkan
sebuah kafilah yang harus dipimpin oleh anaknya yang baru kemarin merasakan
manisnya kebahagian bersama istri untuk berniaga ke negeri Syam.
Tak ada alasan bagi pemuda seperti Abdullah untuk
menolak perintah sang ayah yang sangat menyayanginya, meski hatinya tidak rela
meninggalkan Aminah yang sedang hamil muda, terlebih lagi masa-masa itu adalah
masa bulan madu bagi keduanya. Detik-detik perpisahan pun tiba, beberapa
penduduk Quraisy telah bersiap-siap untuk berangkat, masing-masing dari mereka
sibuk mengurusi barang dagangan yang akan dibawa, Bani Hasyim juga tak
ketinggalan mempersiapkan segala keperluannya, namun di balik itu dua insan
yang telah bersatu dalam kedamaian harus berpisah setelah mereguk madu
kebahagiaan.
Semerbak wangi parfum pengantin masih tercium di
rumahnya, jari-jemari tangan Aminah pun masih terlihat kemerah-merahan lantaran
ukiran pacar masih ada di tangannya, tak ada yang tahu apa yang dilakukan dan
dibicarakan keduanya, dalam detik-detik itu, tapi yang jelas keduanya harus
rela merasakan pedihnya perpisahan setelah keindahan menyentuh sanubari mereka.
Abdullah dengan langkah gontai tapi pasti keluar dari rumah sederhananya yang
diikuti Aminah, di depan rumahnya Abdullah meninggalkan Aminah yang melepasnya
dengan penuh harap, beberapa kalimat diucapkan untuk menenangkan hati di antara
keduanya, padahal di balik itu keduanya tidak menyadari kalau itu adalah pertemuan
terakhir.
Setelah Abdullah keluar dan bergabung dengan
rombongannya tinggalah Aminah bersama dua orang wanita Bani Hasyim dan Bani
Zuhrah yang rela menemaninya selama Abdullah belum pulang, keduanya memandang
Aminah dengan pandangan iba, lantaran harus merasakan kesendirian, padahal
keduanya tidak tahu masa depan Aminah.
Kisah kepergian Abdullah telah ditulis oleh para
sejarawan. Ibnu Saad menceritakan; Abdullah bersama rombongan orang-orang
Quraisy berangkat ke Syam untuk berniaga, setelah selesai berniaga mereka
pulang melewati kota Madinah dan waktu itu Abdullah sakit kemudian Abdullah
meminta agar meninggalkannya bersama kerabatnya dari Bani Najjar selama satu
bulan, setelah rombongan sampai di Mekah Abdul Muthalib menanyakan keadaan
Abdullah pada mereka, mereka menjawab: ?kami meninggalkannya bersama
kerabat-kerabat Bani Najjar di Madinah karena dia sakit.
Setelah itu Abdul Muthalib mengutus anak tertuanya
al-Harits untuk menjemputnya, setelah sampai di sana Abdullah sudah di kubur, mengetahui semua
itu Abdul Muthalib dan seluruh keluarganya mengalami kesedihan yang luar biasa.
Bukan hanya kesedihan karena kehilangan Abdullah yang mereka sayangi, namun
lebih dari itu Abdullah telah meninggalkan kesedihan dalam jiwa seorang wanita
Bani Zuhrah yang saat itu sedang hamil tua.
Tidak dapat dibayangkan Aminah, sebagai seorang
istri yang baru merasakan kasih sayang seorang suami dan menunggu kelahiran
buah hati pertamanya, Aminah sangat sedih dan merana dengan perpisahan yang
tidak bisa harapkan lagi pertemuannya, tak dapat diungkapkan bagaimana
kesedihan Aminah, seperti sejarah pun tidak sanggup mencatat kepiluannya
kecuali dengan apa yang diungkapkan Aminah berupa bait-bait kesedihan.
Para Malaikat Bertahlil
Hari-hari Aminah lalui dengan kesedihan dan kesendirian,
hanyalah Munajat pada sang Pencipta yang dia ucapkan dari bibir dan hatinya.
Begitulah Aminah mengisi hari-hari menunggu kelahiran anaknya, tanpa kasih
sayang seorang ayah, entah berapa tetes Air mata yang mengalir di wajah suci
Aminah ketika dia mengingat calon bayinya tersebut.
Takdir Allah memang tidak bisa ditolak,
ketentuannya tak bisa digugat, Maha Besar Allah dengan kehendak dan
kekuasaannya yang menghendaki Manusia mulia dan suci keluar dari rahim Aminah.
Detik-detik kelahiran anak Aminah ini sangat istimewa, betapa tidak! di malam
itu Aminah didatangi wanita-wanita suci penghuni surga seperti Maryam dan
Asyiah, dengan didampingi ribuan bidadari yang mengabarkan kepadanya, bahwa
sebentar lagi akan keluar dari rahim sucinya seorang bayi mungil yang lucu nan
suci, pemuka dari para Nabi dan kekasih Tuhan alam semesta.
Para Malaikat bertahlil dan bertasbih menyaksikan
cahaya indah yang akan lahir di malam itu, maka lahirlah Rasulullah SAW dari
rahim Aminah. Tak perlu diungkapkan bagaimana proses keagungan kelahiran
Rasulullah secara mendetail, sebab para sejarawan telah menulis dengan panjang
lebar kejadian ini, yang jelas Aminah sangat merasa bahagia dengan kelahiran
anaknya ini, kepiluan, kesedihan, kesendirian dan kesepian kini telah sirna,
yang ada hanyalah kebahagian dan kedamaian yang mengisi hari-hari Aminah
setelah kelahiran anaknya. Kelahiran Rasulullah SAW bak setetes embun pagi yang
menetes di sanubari Aminah. Bahkan bukan bagi Aminah saja namun bagi penghuni
alam semesta. Betapa banyak makhluk Allah yang berharap merawat dan menatap
wajahnya, para Malaikat dan bahkan hewan-hewanpun berebut untuk merawatnya.
Namun takdir Allah menentukan hanyalah Aminah yang mendapat kemuliaan tersebut.
Hamid Jakfar Algadri