Terlihat di
tengah kota Makkah ada rumah sederhana sedang digelayut awan haru. Suasana sepi
mencekam isi rumah itu. Yang terdengar hanya doa-doa suci bersuara lirih.
Fathimah menatap sedih ke arah dua bocah manis yang sedang tergeletak lemah
tidak berdaya. Bibirnya bergetar menahan haru. Hasan dan Husain sedang sakit.
Matanya berhias cekung dan badannya menipis kurus. Di sudut matanya menyimpan
butir air mata yang menahanrasa sakit di sekujur tubuhnya. Demam tinggi menahan
dua putra mulia ini untuk tetap diam pada pembaringannya. Rasa khawatir yang
panjang makin mendera hati Fathimah tatkala suara menahan sakit putranya
terdengar mengaduh. Perlahan Fathimah menggerakkan tubuhnya, ia peluk kedua
putranya dengan perasaan iba. Air mata Fathimah makin menderai ketika ia sering
mendengar suara pilu terbata-bata karena menahan sakit. Pelukan Fathimah makin
merapat dengan harapan agar beban yang menghimpit belahan jiwanya tidak semakin
bertambah. Tapi, mereka masih saja meringis, menahan sakit yang tidak bisa
dilawannya.
Dekapan hangat
tubuh Fathimah terusik, ketika terdengar suara salam dan pintu terketuk.
Perlahan Imam Ali bangkit dari duduknya, lalu dibukanya pintu itu. Dibalik
pintu Imam Ali menyaksikan Rasul dan para sahabat datang berkunjung. Mengetahui
Rasul yang datang, Fathimah segera menyambutnya. Ia menanyakan perihal kabar
bapaknya. Begitu juga Rasul menanyakan kesehatan cucunya. Usai melihat
Hasan-Husain, salah seorang sahabat Nabi berkata pada Fathimah dan Imam Ali, ”Wahai
Abu Hasan, kalau engkau bernazar untuk kedua anakmu, tentu Allah akan
menyembuhkan sakit mereka.”
Imam Ali berkata,
”Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.”
Perkataan yang sama terucap dari bibir Fathimah, ”Begitu juga aku, aku akan
berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukurku.” Ucapan yang sama disusul oleh
Hasan-Husain dan Fidhdhah, pelayannya.
Dengan keagungan
sumpah mereka, tak lama dari kejadian itu, Allah menyembuhkan sakit Hasan dan
Husain. Keluarga agung itu pun memenuhi janjinya, berpuasa tiga hari. Ketika
mereka akan memulai puasanya, tidak ada sedikit pun makanan yang mereka miliki,
bahkan sepotong kurma pun tidak ada. Mereka tetap melaksanakan puasanya tanpa
bekal makanan di waktu sahur. Di pagi hari, usai shalat dan zikir, Imam Ali
bergegas untuk mencari bekal buat berbuka. Ia pergi mendatangi seorang Yahudi
bernama Syam’un, ”Apakah engkau dapat memberikan kepadaku bulu domba untuk
dipintal oleh putri Muhammad dengan upah tiga sha’ gandum?” Orang Yahudi itu
mengangguk dan memberikan kepada Imam Ali bahan wol dan tiga sha’ gandum.
Fathimah datang menyambut kehadiran suaminya, Ia menerima dan memintal bahan
wol itu sesuai pesanan. Menjelang sore Fathimah mempersiapkan gandum untuk
ditumbuk dan dijadikan roti.
Usai salat
Maghrib dan zikir, ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka, tiba-tiba mereka
mendengar rintihan pilu seorang miskin, ia berdiri rapuh di depan pintu.
Matanya sayu dan pakaiannya dipenuhi dengan debu. Bibirnya yang kering berkata,
”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Muhammad, aku seorang miskin dari kaum muslim.
Sudah beberapa saat aku tidak menemukan makanan. Sudikah engkau memberikan
makanan yang kalian miliki, semoga Allah membalasnya dengan makanan surga.” Ada
rasa khawatir yang mendalam pada hati Imam Ali dan Fathimah. Imam Ali menatap
nanap Fathimah seraya berkata, ”Wahai Fathimah, perempuan mulia dan beriman
teguh. Putri manusia agung di muka bumi. Di hadapan kita berdiri seorang miskin
dan sengsara, merintih pedih menahan lapar.” Dengan iba Fathimah berucap,
”Wahai putra paman, perintahmu aku taati. Aku tak menyesal dan mencelamu.
Engkau telah berikan makanan dengan sifat murahmu. Kuberikan juga makananku di
jalan Allah meskipun lapar meradang perutku.” Segera Fathimah bangkit dan
memberikan seluruh makanan yang terdapat di atas meja. Tidak ada makanan yang
tersisa sedikit pun. Malam itu mereka tidur dalam keadaan perut yang lapar.
Keesok harinya mereka berpuasa lagi tanpa buka dan sahur sebelumnya. Mereka
hanya minum segelas air putih saja.
Pada puasa hari
kedua Fathimah kembali membuat roti dari sisa gandum yang kemarin untuk bekal
berbuka. Ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka di hari itu, seorang anak
datang dan berdiri di depan pintu, dari mulutnya yang pecah tergagap suaranya
yang lembut, ”Salam sejahtera wahai Ahli Bait Nabi, Berilah aku makanan dari
apa yang kalian makan.” Ia sebut dirinya seorang yatim dari kaum muslim. Imam
Ali berkata, ”Wahai Fathimah, putri Rasulullah, yang mulia dan dermawan, Allah
telah mengutus anak yatim kepada kita. Siapa yang hari ini mengharap rida
Tuhan. Kelak tempatnya adalah surga dengan nikmat yang tak terhingga.” Fathimah
menyambut ucapan suaminya, ”Ia pasti kuberi, dengan kerelaan yang tulus, tak
peduli keadaan kita sendiri. Sama sepertiku, mereka akan bermalam dalam keadaan
lapar. Dan si kecil dengan laparnya akan syahid di medan tempur.” Dari
tangannya yang lembut,yang sering dicium bibir Rasul, ia berikan semua makanan
yang ada. Kebahagiaan terpancar di roman muka anak yatim itu, ia makan dengan sangat
lahap dan hilanglah rasa perih yang menusuk perutnya. Mata haru dan rasa
bahagia menyelimuti keluarga Fathimah ketika menyaksikan kebahagiaan memenuhi
hati anak itu.
Menjelang hari
ketiga, tidak ada sedikit makanan pun yang tersentuh oleh bibir-bibir yang
mulia itu, sahur dilaluinya dengan zikir dan rasa lapar. Hari ketiga dilewati
oleh Fathimah dengan menumbuk sisa gandum untuk dibuatnya roti. Tangannya yang
lelah melepuh karena menahan berat menggiling gandum.Wajahnya tampak pucat dan
sayu. Tinggal sedikit saja sisa tenaganya yang ada. Sedangkan Hasan dan Husain
masih tetap bertahan menahan rasa lemas dan lapar. Kekhawatiran meronakan wajah
Imam Ali. Perjuangan yang berat hampir selesai. Setelah mereka membasahi
bibirnya dengan zikir dan shalat, mereka berkumpul untuk melepas ikatan puasa,
berbuka. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan mendendangkan ungkapan kepedihan,
”Salam sejahtera tercurah selalu bagimu, wahai Ahli Bait Nabi.” Suaranya kecil
dan tersendat-sendat. ”Orang kafir telah menawanku berhari-hari, aku disekap
tanpa minum dan makan. Rasa lapar membahana perutku. Sudikah kalian memberikan
makanan untukku.” Imam Ali mempersilahkannya masuk, seraya berkata kepada
Fathimah, “Duhai Fathimah putra Ahmad, putra agung dan dermawan, tanpa ada yang
menunjukkan ke sini, tawanan
itu datang dengan
bekas belenggu di tangan. Ia mengeluh lapar dan sengsara. Barangsiapa memberi
makan orang yang sengsara, kelak akan memperoleh balasan yang sama dari sisi
Allah. Setiap orang yang menanam,
pasti ia akan
menuai hasilnya.” Fathimah bergumam, ”Gandum tinggal setakar. Tanganku melepuh
karena gilingan. Demi Allah, inilah dua anakku sudah terlampau lapar. Ya Allah
jangan binasakan mereka hingga aku kehilangan mereka.” Tanpa ragu Fathimah
memberikan semua makanan. Pribadinya yang tulus dan ikhlas, yang selalu iba
jika melihat ada orang yang lapar, membawanya menyerahkan semua makanan yang
ada.
Mereka tidur
dalam keadaan lapar lagi. Begitu pula di hari keempatnya. Perut mereka selalu
dilewati dengan lapar, dan hal itu sering terjadi setiap hari-hari yang dilalui
keluarga suci itu. Tidak ada makanan sedikit pun yang menjemput malam di atas
meja rumah mereka. Fathimah tidak pernah lama-lama menyimpan makanannya di
dalam lemari. Sifat dermawan dan cinta kasihya pada kaum mustadh’afin
mengantarkannya untuk selalu memberi dan tanpa pamrih.
Setelah peristiwa
itu, Imam Ali dan kedua putranya pergi menuju rumah Rasulullah dengan membawa
beban lapar dan tubuh yang menggigil. Ketika Rasul melihat mereka, Rasul
berkata, ”Wahai Abu Hasan, ada apakah dengan mukamu yang pucat dan tubuhmu yang
menggigil. Sungguh, aku sangat mencemaskanmu dan kedua cucuku.” Segera Imam Ali
menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya. Rasulullah mengajak Imam
Ali untuk menemui Fathimah. Sesampai di rumah dilihatnya Fathimah sedang duduk
bersimpuh. Kondisinya sangat mengkhawatirkan Rasulullah. Perutnya kempis karena
menahan lapar yang panjang. Begitu juga dengan matanya yang tampak cekung
karena menahan pening yang mendera kepalanya. Rasul segera mendekap tubuhnya
dengan erat, seraya menjerit, ”Apakah keluarga Muhammad akan mati karena
kelaparan?” Tubuh Rasul masih saja berguncang dan bergetar menahan haru. Air
mata pilu jatuh membasah pundak Fathimah. Sampai-sampai malaikat pembawa wahyu
datang dan menyampaikan pujian istimewa kepada Muhammad dan Ahli Baitnya yang
tertulis dalam surat Al-Insan 5-22.
Kecintaan
Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan
dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli
perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang
terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan
bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum
papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita
sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih saudara kita yang
menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan
bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika
perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang
mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara
hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita?
Kecintaan
Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa, ia buktikan
dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak peduli
perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan yang
terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan
bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum
papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita
sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih tetangga kita yang
menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan
bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika
perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang
mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara
hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita? Ketabahan dan kecintaanmu
pada kaum miskin adalah hiasan mulia hati sucimu. Di balik hatinya yang lembut,
ia selalu terbayang akan perkataan ayahnya, ”Berhati-hatilah kamu dari sifat
kikir, karena ia adalah penyakit yang tidak terdapat dalam diri seseorang yang
mulia. Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah sebatang pohon
di neraka dan dahan-dahannya ada di dunia. Barangsiapa yang bergantung pada
salah satu dahannya, maka ia akan memasukannya ke dalam api neraka.” Fathimah
adalah sosok perempuan yang mulia. Kemuliaannya ia buktikan dengan memenuhi
seluruh jiwanya dengan sikap dermawan dan menghindari kekikiran. Suatu saat,
ketika Fathimah akan menikah, Rasul pernah membuatkan sehelai baju untuknya.
Waktu itu Fathimah hanya memiliki beberapa pakaian saja. Baju terbaik yang
dimilikinya ketika itu adalah baju yang penuh dengan tambalan. Karena itu Rasul
hadiahkan baju kepada anaknya untuk dikenakan pada hari pernikahannya.
Menjelang beberapa hari pernikahannya, suatu pagi di depan pintu berdiri
seorang papa. Ia mematung sepi. Perlahan ia berkata, ”Wahai Fathimah, adakah
sehelai baju yang layak bagiku untuk melindungi tubuhku ini,” Fathimah teringat
firman Allah, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna,
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Al-Imran 92).
Segera Fathimah memberikan
baju baru pemberian ayahnya itu dengan ketulusan hatinya yang dalam. Menjelang
pernikahan Fathimah, malaikat Jibril datang dan memberinya sehelai baju yang
terbuat dari sutra hijau. Dialah Fathimah, sosok ibu bagi kaum miskin. Dia yang
memberikan segalanya pada kaum papa di saat kesulitan menghimpit diri dan
keluarganya. Ia berikan kebahagiaan tanpa pamrih dan harap. Bahkan ia rela
menahan lapar yang panjang untuk senyum kebahagiaan orang lain. Dialah pengayom
dan tempat berlindung kaum mustadh’afin dari berbagai kesulitan. Dialah
perempuan sederhana penuh karisma. Dialah bunda mulia pelipur lara. Sudahkah
sebagian dari kita mencoba menjadi bunda seperti halnya Fathimah, selain bunda
bagi putra-putranya? Ibu yang memiliki kepribadian tulus yang selalu mencintai
dan memberi kebahagiaan kepada kaum miskin, seperti halnya Fathimah
Az-Zahra.
Salam bahagia
bagimu, ya Sayyidah Fathimah..
bantulah kami
dengan doa-doamu kepada Allah..
agar kami bisa
berakhlak mulia sepertimu..
dan menapak jalan
kemuliaan dengan kecintaan..
kepada kaum
miskin setiap saat.
Kebahagiaan
dan kasih s
0 komentar:
Posting Komentar