Pria paruh baya itu bernama 'Ala bin Ziyad
Al-Haritsi. Yang membedakannya dengan rakyat biasa adalah, ia saudagar kaya
raya di masa kekhalifahan keempat, Ali bin Abi Thalib. Satu hari, dia
mengundang Khalifah Ali berkunjung ke rumahnya. Sang khalifah memenuhi
permintaan tersebut.
Sesampai di rumah pengundang, Amirul Mukminin
terkagum melihat kemewahan rumah 'Ala. Ali yang istananya sangat sederhana itu
mengomentari kemewahan tersebut: "Wahai 'Ala, apa untungnya memiliki rumah
sebesar ini, padahal engkau memerlukan rumah yang lebih besar dan lebih mewah
kelak di akhirat?"
Semula 'Ala menduga menantu Nabi SAW itu biasa hidup
mewah di istana karena posisinya sebagai khalifah. Tapi sahabat Ali ternyata
bukanlah 'orang dunia'. Kekuasaan yang digenggamnya tidak lebih dari sekadar
sarana untuk beribadah kepada Allah. Ia menguasai dunia, tapi tidak dikuasai
dunia. Perubahan terjadi pada diri 'Ala. Amirul Mukminin tahu betul ekspresi
perubahan itu. Apalagi ia tahu bila 'Ala mendapatkan kekayaannya melalui jerih
payahnya sendiri, bukan dari KKN.
Khalifah Ali lalu menyampaikan pesan: "Wahai
'Ala, engkau bisa menjadikan rumahmu yang besar ini sebagai kendaraan yang akan
mengantarkanmu ke rumah yang lebih besar di akhirat kelak."
"Bagaimana caranya, wahai Amirul
Mukminin?" respon 'Ala.
"Engkau buka rumahmu untuk para tamu yang
menghajatkannya, ikat silaturrahim di antara kaum Muslimin, bela, dan tampakkan
hak-hak kaum Muslimin di rumahmu, jadikan rumah ini sebagai tempat pemenuhan hajat
saudara-saudara sesama Islam, dan jangan batasi hanya untuk kepentingan dan
keserakahan dirimu semata."
***
Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah terakhir
(35-41 Hijriah/655-661 Masehi) dari kekuasaan Khulafaur Rasyidin (empat
pemimpin terpilih pasca- Nabi SAW, yakni; Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman,
dan Ali). Untuk kategori anak-anak (generasi muda), Ali dikenal sebagai yang
pertama masuk Islam, serta Muslim kedua setelah Khadijah binti Khuwailid.
Dari segi nasab (keturunan), Ali masih sepupu Muhammad
SAW dari garis bapak. Ayahnya, yakni Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim
bin Abdul Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW (Abdullah bin Abdul
Muthalib). Sementara ibu bernama Fatimah binti As'ad bin Hasyim bin Abdul
Manaf. Ketika lahir, ibunya memberi nama Haidarah, namun sang ayah kemudian
menggantinya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, Ali diasuh oleh Nabi SAW,
seperti halnya sang Nabi pernah diasuh orang tua Ali. Saat Muhammad diangkat
menjadi Rasul, usia Ali baru 8 tahun. Sejak masuk Islam itu, ia tak pernah
absen menyertai Nabi SAW menyebarkan risalah kedamaian dan keadilan. Tak heran
bila kemudian Ali dikenal sangat dekat dengan Rasulullah. Kedekatan itu semakin
erat dengan dinikahinya Fatimah Azzahra --salah seorang putri Nabi SAW yang
kala itu berusia 15 tahun-- oleh Ali.
Dari pernikahan pertamanya ini, Ali dikaruniai dua
putra dan dua putri: Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum. Anak terakhir,
Ummu Kulsum, kelak menjadi istri Umar bin Khatthab, khalifah kedua. Keseluruhan
anak Ali berjumlah 19 orang, dari sembilan kali pernikahannya.
Sejak kecil, Ali dikenal dengan kecerdasannya.
Sampai-sampai Muhammad SAW memuji Ali dengan kalimat: "Saya adalah ibukota
ilmu pengetahuan dan Ali adalah gerbangnya." Ali kecil juga sudah
menunjukkan keberaniannya yang luar biasa. Ia misalnya, berani menantang
tokoh-tokoh Quraisy yang mencemooh Muhammad SAW.
Ketika sang Nabi SAW ini hijrah dan kaum Quraisy
menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali tidur di tempat tidur Nabi Muhammad
serta mengenakan mantel yang dipakai Rasul kala itu. Nabi pun selamat dari
maut.
Di medan perang, dia dikenal sebagai panglima dan
petempur yang sangat handal dan disegani. Peperangan Badar, Uhud, dan Khandaq,
menjadi saksi keberanian seorang Ali. Namanya semakin sering dipuji setelah ia
berhasil menjebol gerbang benteng Khaibar yang menjadi pertahanan terakhir
Yahudi. Menjelang Rasul menunaikan haji, Ali ditugasi melaksanakan misi militer
ke Yaman. Misi itu dilakukannya dengan baik.
Sebagai khalifah, ia mewarisi pemerintahan yang
sangat kacau akibat krisis dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan, khalifah
ketiga. Keluarga Umayah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20
gubernur, hanya gubernur Irak --Abu Musa Al-Asyari-- yang bukan keluarga
Umayah.
Berbagai kalangan, di antaranya Aisyah, Zubair dan
Thalhah, menuntut Ali mengadili pembunuh Utsman. Sebagian lainnya menuding Ali
dekat dan enggan memproses pembunuh tersebut. Tapi Ali menyebut pengadilan
sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Ia bermaksud menyatukan negara
lebih dahulu. Untuk itu, ia mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan -- gubernur Syam
yang juga pemimpin keluarga Umayah-- segera berbaiat kepadanya.
Muawiyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Ustman
dihukum. Dianggap membangkang, Ali pun siap menggempur Muawiyah. Tak berapa
lama, ia tinggalkan ibukota, Madinah, menuju Kuffah guna mengakhiri
pembangkangan Muawiyah.
Langkah ini mengundang kritik kelompok Aisyah.
Bersama Thalhah dan Zubair, Aisyah memimpin 30 ribu pasukan dari Mekkah.
Pasukan Ali --yang semula diarahkan ke Syam-- terpaksa dibelokkan untuk
menghadapi Aisyah. Perang sesama Muslim tak terhindarkan. Aisyah memimpin
pasukannya dari tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan mengendarai unta.
Perang itu lalu dikenal dengan 'Perang Jamal' (Unta).
Sekitar 10 ribu orang tewas dalam peperangan. Aisyah tertawan setelah tandunya
penuh anak panah. Zubair tewas, dan Thalhah terluka.
Kesempatan pun dimanfaatkan Muawiyah. Ia
menggantungkan jubah Utsman yang berlumur darah, serta potongan jari istri
Ustman, di Masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali. Kembali perang terjadi di
Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan Irak-Syria. Puluhan ribu Muslim
tewas. Di pihak Ali, 35 ribu tewas, dan di pihak Muawiyah 45 ribu meninggal.
Dalam keadaan terdesak, pihak Muawiyah bersiasat. Atas usulan Amru bin Ash,
mereka mengikat Quran di ujung tombak dan mengajak untuk "berhukum pada
Quran". Peristiwa ini terkenal dengan peristiwa 'tahkim'.
Pihak Ali terbelah. Sebagian setuju, sebagian
lainnya menolak. Ali mengalah. Kedua pihak berunding. Amru bin Ash di pihak
Muawiyah, dan Abu Musa --yang dikenal sebagai seorang shalih dan tak suka
politik-- di pihak Ali. Keduanya sepakat "menurunkan" Ali dan
Muawiyah.
Tapi Amru mengingkari kesepakatan. Situasi yang tak
menentu itu membuat marah Hurkus, komandan pasukan Ali. Karena cara berpikirnya
yang sempit, ia menilai Muawiyah maupun Ali melanggar hukum Allah. "Laa
Hukma Illallah (tiada hukum selain Allah)," serunya. "Pelanggar hukum
Allah boleh dibunuh," tegasnya.
Orang-orang menyebut kelompok radikal ini sebagai
"Khawarij" (barisan yang keluar). Mereka menyerang dan bahkan
membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya, termasuk Muawiyah, Amru
bin Ash, dan Khalifah Ali.
"Pemerintahan Ali terlalu banyak dirongrong
oleh perang saudara... Tapi ia juga berhasil menyusun arsip negara,
menyelamatkan dokumen khalifah, membentuk kantor hajib (bendaharawan) dan
kantor shahibus shurthoh (pasukan pengawal), serta mereorganisasi polisi dan
menetapkan tugas- tugasnya," komentar Ameer Ali, sejarawan Arab. hery
sucipto/berbagai sumber
Wasiat Imam Ali
Dua menantu Nabi SAW, Utsman bin Affan (khalifah
ketiga), dan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat), memiliki keistimewaan
tersendiri. Yang pertama seorang kaya raya tapi dermawan, dan lainnya, Ali,
sederhana tapi tegas dan kaya ilmu. Sebutan Nabi SAW bahwa Ali Gerbang Ilmu,
bukti pengakuan Rasulullah atas penguasaan ilmu Ali. Tak heran bila Ali juga
dikenal ahli hukum dan mujtahid yang darinya selalu keluar pencerahan-
pencerahan ilmiah dan spiritualitas.
Sebagai 'mata air' hikmah, Ali banyak mewasiatkan
kepada umat Islam akan kehidupan, baik dalam memenuhi hajat profannya
(material) maupun sakralnya (akhirati). Dalam satu kesempatan misalnya, ia
bertutur soal hubungan manusia dengan Sang Khaliq. Katanya, "Barang siapa
telah memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka ia akan memperbaiki
hubungannya dengan orang lain, dan barang siapa telah memperbaiki urusan
akhiratnya, maka ia akan memperbaiki urusan dunianya."
Ali juga menganjurkan kita berpikir dan merenungkan
kembali informasi yang kita terima. "Renungkanlah berita yang kau dengar
secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita). Penukil ilmu
sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit."
Cobaan atau fitnah di masa Khalifah Ali tak kalah
hebatnya dengan fitnah- fitnah saat ini. Agar tidak terjerumus dan terjebak
dalam kubangan fitnah, kepada para sahabatnya Ali berpesan, "Ketika fitnah
berkecamuk, jadikanlah dirimu seperti 'ibnu labun' (anak unta yang belum
berumur dua tahun), karena ia masih belum memiliki punggung yang kuat untuk
dapat ditunggangi dan tidak memiliki air susu untuk dapat diperah."
Begitu pun pandangannya soal manusia yang lemah. Di
mata satu-satunya khalifah Islam yang bergelar "Imam" ini, orang
lemah bukan mereka yang tak berdaya menghadapi lawan, tak berharta, atau tidak
memiliki kedudukan. Tapi, "Orang yang paling lemah adalah mereka yang
tidak dapat menjalin tali persahabatan dengan orang lain, dan lebih lemah
darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan
sahabatnya," ujar Ali, sebagaimana dinukil dalam Nahjul Balaghah.
Di bagian lain wasiatnya, Ali menegaskan, "Akan
datang kepada manusia suatu masa yang tidak tertinggal dari Alquran kecuali
tulisannya dan dari Islam kecuali namanya. Pada masa itu masjid-masjid
dimakmurkan bangunannya sedangkan ia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang
yang menghuni dan memakmurkannya adalah yang paling jahat di muka bumi. Fitnah
bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka.
Orang-orang korban fitnah dan telah bertaubat, akan
dipaksa kembali dan orang-orang yang tertinggal di belakang (tidak ikut serta
dalam kafilah fitnah) akan dirayu agar bergabung dengannya. Allah berfirman:
'Demi Dzat- Ku, akan Ku-kirim untuk mereka sebuah fitnah (cobaan) besar yang
akan menjadikan orang-orang sabar bingung menentukan sikap.' Kita memohon
kepada-Nya untuk mengampuni kealpaan yang membuat kita tergelincir."n her
0 komentar:
Posting Komentar