Alamat Majelis :
Jalan Syekh A Somad Lorong Kemartan 22 ilir Palembang
Belakang Universitas Bina Husada

Selasa, 09 April 2013

Sayidina Umar 'Al Faruq' Ibnul Khaththab









Umar 'Al Faruq' Ibnul Khaththab
The Guardian of Islam

"Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat."

Kutipan pidato Umar bin Khaththab tak lama setelah dibaiat menjadi khalifah (pemimpin umat Islam) menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq yang meninggal karena sakit itu, mengajarkan betapa prinsip dan nilai kemanusiaan dan keadilan harus menjadi pegangan utama seorang pemimpin. Bagi Umar, hanya dengan sikap pemimpin yang demikianlah rakyat yang mengamanatinya akan merasakan kedamaian, kesejahteraan, dan solidaritas tak berbatas.
Sepanjang sejarah Islam, Khalifah Umar merupakan sahabat Rasulullah yang paling banyak dibicarakan karena gagasan-gagasan dan perannya berkaitan dengan Islam. Bertubuh tegap, hitam dan tinggi, Umar yang dilahirkan pada 581 M ini dikenal sangat keras dan tegas dalam pendirian. Saking kerasnya itu, ia disegani dan ditakuti di kalangan masyarakatnya, suku Adi. Suku Adi termasuk dalam rumpun suku Quraisy. Kedua orang tua Umar, Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim, berasal dari suku Adi.
Umar remaja yang dikenal sebagai pegulat dan sering mempertontonkan kebolehannya dalam pesta tahunan pasar Ukaz, Mekkah, itu telah memiliki banyak kelebihan dan kejeniusan, antara lain dapat memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi, serta memiliki sikap santun dan jiwa kepemimpinan. Berkat kelebihannya itu pula, tak jarang ia dipercaya mewakili sukunya dalam berbagai acara maupun perundingan-perundingan dengan suku lain. Peran itu membuat dirinya terkenal di kalangan orang- orang Arab jahili. Rasulullah SAW sendiri mengakui dan memuji kelebihan Umar tersebut.
Nabi SAW bahkan secara khusus mendoakan Umar, "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari Amr bin Hisyam atau Umar bin Khaththab." Allah mengabulkan doa Nabi SAW dengan masuknya Umar ke dalam Islam pada 616 M. Sebelum masuk Islam, Umar dikenal sangat keras menentang seruan Muhammad SAW. Bahkan, ia pernah mengadakan percobaan pembunuhan terhadap diri Nabi SAW. Ketika mendengar adiknya, Fatimah, dan suaminya masuk Islam, ia sangat murka. Namun sikap keras itu berubah sejak dirinya masuk Islam. Berislamnya Umar lalu diikuti keluarganya, seperti Abdullah, dan istrinya, Zainab binti Ma'zun, tokoh suku serta para pengikutnya.
Sejak masuk Islam, Umar dikenal sangat dekat dengan Rasulullah. Sampai- sampai Nabi SAW melukiskan kedekatannya dengan berkata, "Jika saja Allah mengizinkan harus ada nabi lainnya setelah aku, dia tidak lain adalah Umar." Karena keteladanan sikapnya itu pula, Nabi SAW memberi gelar Umar sebagai 'Al Faruq' yang berarti 'pembeda' atau 'pemisah'. Maksudnya, Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil. Umar pula satu-satunya orang yang berani menyampaikan pikiran dan gagasan- gagasan di hadapan Nabi SAW, bahkan tak jarang kritik untuk kemaslahatan umat. Misalnya, dalam satu kesempatan bersama Rasul, Umar mengusulkan kepada Nabi agar memerintahkan isteri-isterinya memakai hijab (tirai) dengan maksud agar mereka berbicara dengan tamu- tamunya dari belakang hijab. Menurut Umar, karena yang berbicara dengan mereka tidaklah semua orang baik, ada pula yang jahat. Tak lama kemudian, turunlah ayat tentang hijab yang membenarkan pendapat Umar.
Ketika menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar tak segan-segan menindak siapapun yang melanggar hukum. "Sekalipun aku ini keras, tapi sejak semua urusan diserahkan kepadaku, aku menjadi orang yang sangat lemah di hadapan yang hak," tegas Umar di depan rakyatnya.
Soal keadilan yang keras ditegakkan Umar ini, ada kisah menarik. Suatu ketika, putra Amru bin 'Ash (gubernur Mesir) berpacu kuda dengan penduduk setempat. Lalu mereka berselisih dalam menentukan pemenangnya. Putra Amru marah dan memukul orang Mesir tadi, seraya berkata, "Aku ini putra dua orang yang mulia." Mendapat aniaya, orang Mesir tersebut mengadu kepada Umar. Dengan nada berang, Umar memanggil gubernur Amru dan anaknya. Umar lalu menyuruh orang Mesir memukul gubernur Amru, dengan demikian putranya tak akan lagi berani sewenang-wenang. "Sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan bebas merdeka," bentak Umar kepada Amru.
Di masa Umar pula, wilayah kekuasaan Islam terus bertambah. Ia di antaranya sukses menaklukkan Mesir dengan gubernur pertamanya, Amru bin 'Ash. Amru lalu dikenal sebagai pembawa pertama Islam ke wilayah Afrika utara. Islam juga meluas hingga ke Libia, Barqoh, Persia, Irak, Armenia, Khurasan, Nisabur, Azerbaijan, Basra, Syria, Yordania, Gaza, Baitul Maqdis, dan beberapa daerah di sekitar Laut Tengah. Selain meneruskan kebijakan pendahulunya, Khalifah Umar juga membuat gebrakan-gebrakan revolusioner dalam pemerintahannya. Untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat misalnya, Umar mendirikan lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda. Ia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat strategis.
Di bidang hukum, Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dialah orang pertama yang meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang dikirimkan kepada Abu Musa Al Asyary. Risalah itu kemudian disebut Dustur Umar (konstitusi Umar), atau Risalah Al Qadla (Surat Peradilan). Untuk meningkatkan mekanisme pemerintahan di daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf, seperti sekretaris kepala, sekretaris militer, pejabat perpajakan, pejabat kepolisian, pejabat keuangan, dan hakim serta pejabat jawatan keagamaan. Terobosan lainnya, sebagaimana dikutip buku Al Asyrah Mubasysyirun bil Jannah, Umar orang yang mensunnahkan shalat tarawih, membuat kalender Islam (hijriyah), membangun baitul mal wa tamwil, mengharamkan kawin mut'ah, menetapkan pengenaan zakat atas ternak kuda, menciptakan uang logam, menggunakan pos untuk pengiriman surat, memperluas Masjid Nabawi, mengangkat pejabat pengawas harga kebutuhan, serta menetapkan ketentuan pembagian warisan, dan lain sebagainya.
Betapapun, Umar yang wafat ditikam seorang Majusi bernama Abu Lu'luah ketika tengah shalat Shubuh pada tahun 13 Hijriyah, telah mewariskan nilai- nilai berharga yang berkatnya menjadi modal utama menata sebuah masyarakat dari kondisi anarkhis, tak beradab, menjadi masyarakat yang manusiawi dan sejahtera. Ia bahkan tak segan-segan mengajak umat non- Muslim ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan, tanpa pandang bulu.n hery sucipto/berbagai sumber
boks



Ijtihad, Agar Umat Tidak Jumud

Aspek yang tak lepas dari diri Umar bin Khaththab adalah masalah ijtihad berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada nashnya baik dalam Alquran maupun Hadis. Beberapa ijtihad yang dilakukan Umar di antaranya adalah soal penghimpunan Alquran dalam satu mushaf. Ketika itu kekhalifahan dipegang sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq, sedang Umar salah satu pembantunya di pemerintahan.
Argumentasi Umar adalah banyaknya para sahabat yang hafal Alquran mati syahid dalam berbagai pertempuran. Ia khawatir dengan banyaknya huffadz (penghafal Alquran) yang meninggal, akan banyak ayat Alquran yang hilang. Kepada Umar, Khalifah Abu Bakar berkata, "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?" Dialog panjang pun tak terelakkan. Singkatnya, sang khalifah pun akhirnya menyetujui gagasan Umar, setelah khalifah merasa yakin atas ide positif Umar itu. Maka diputuskanlah Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim pelaksana penghimpunan Alquran. Selain cerdas, amanah, dan jujur, Zaid juga dikenal sangat dekat dengan Rasulullah ketika masih hidup, sekaligus pencatat wahyu Nabi SAW setiap kali turun. Dasar itulah yang menjadikan Zaid dipilih para sahabat.
Ijtihad juga dilakukan Umar berkaitan dengan masalah santunan terhadap kaum mualaf (orang yang baru masuk Islam dan belum kuat imannya). Allah menyitir hal ini, "Sedekah hanya untuk kaum kafir dan miskin, para amil, orang-orang yang disejukkan hatinya (mualaf) ... (QS, 9:60). Demikian halnya Nabi menganjurkan hal tersebut. Alasan Nabi SAW antara lain, untuk menyejukkan hati dan memperkuat iman mereka. Tradisi demikian terus berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar. Sebelum meninggal, Abu Bakar sempat memberi surat kepada Uyainah bin Hisn dan Aqra' bin Habis yang datang kepadanya guna meminta sebidang tanah.
Setelah Umar menjadi khalifah, kedua orang itu menghadap kepada Umar untuk mendapatkan haknya. Diajukan surat demikian, Umar bukan saja merobeknya, tapi sekaligus menolak permintaan itu. "Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap dalam Islam atau hanya pedang yang ada," jelas Umar. Golongan seperti inilah yang dulu pernah mendapat zakat, namun kini dihentikan dan mereka disamakan dengan kaum Muslimin lainnya.

Di bidang hukum, ijtihad yang dilakukan Umar tak kalah besar pengaruhnya. Bahkan hingga kini masih dirujuk kalangan fuqaha (ahli fikih). Yakni menolak melaksanakan hukuman karena keadaan darurat.

Soal hukum ini sudah jelas dinyatakan dalam Alquran, misalnya masalah pembunuhahn, zina, tuduhan palsu, dan perampokan. Firman Allah, ''... barang siapa tidak memutus perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang fasik." (QS 5:47).

Namun bagi Umar, hukum itu tak berlaku dan karenanya menghindari dengan catatan kondisi darurat, sebagaimana firman-Nya, "... jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas, maka tidaklah ia berdosa.

Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (QS 2:173). Contoh dalam soal ini adalah, seorang perempuan --yang mengadu kepada Umar-- telah kepayahan lantaran kehausan. Ketika sedang melalui seorang gembala, ia meminta diberi minum, tapi gembala itu menolak kecuali jika mau menyerahkan kehormatannya.

Semula, wanita itu menolak, tapi karena terpaksa, ia pun memberikannya. Umar berunding dengan Ali guna menjatuhkan hukum rajam. Namun Ali berkata, "Ini keadaan terpaksa, saya berpendapat lepaskan saja wanita itu." Umar pun membebaskannya.

Mengomentari sukses ijtihad Umar, Abu Yusuf, ulama di masa tabi'in, dalam kitabnya, Al Kharaaj, sebagaimana dikutip Muhammad Haekal dalam Al Faaruq Umar, mengatakan, "Merupakan keberhasilan yang diberikan Allah atas segala yang dilakukan Umar itulah yang terbaik yang telah diberikannya kepada kaum Muslimin."n hery


0 komentar:

Posting Komentar

 
Admin
Silahkan Pilih
Login