Syeikh Abdus
Shamad Al Palimbani
Mengendalikan
Perjuangan Dari Mekkah
Penulis : Hery
Sucipto
Dalam percaturan intelektualisme
Islam Nusantara --atau biasa juga disebut dunia Melayu-- khususnya di era abad
18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap
kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan,
merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme
Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh
seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf
Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.
Dalam deretan nama-nama tersebut
itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan
dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai
Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan
Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di
Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya
semasa ia menimba ilmu di Mekkah.
Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani
dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh
Al-Palimbani, sejauh yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang
pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad
Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini
memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara
versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada
sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus
Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi. Mana dari ketiga nama itu yang diyakini
sebagai nama Abdus Shamad, Azyumardi berpendapat bahwa nama terakhirlah yang
disebut Syeikh Abdus Shamad.
Kesimpangsiuran nama ulama ini
dapat dimaklumi mengingat sejarah panjangnya berpetualang, baik di dalam negeri
maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Bila ditilik latar belakang, potret
Al-Palimbani sebenarnya tak jauh beda dengan ulama-ulama Nusantara lainnya,
seperti Hamzah Fansur, Al-Raniri, Al-Singkili, Yusuf Al-Maqassari, hingga para
ulama generasi pelanjut, semisal KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari.
Dari silsilah, nasab Syeikh
Al-Palimbani masih keturunan Arab, yakni dari jalur ayah. Syeikh Abdul Jalil
bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Palimbani, adalah
ulama asal Yaman yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18.
Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperistri Sheikh
Abdul Jalil, setelah sebelumnya sempat menikahi Wan Zainab, putri Dato' Sri
Maharaja Dewa di Kedah.
Seperti lazimnya anak-anak kecil
di masa itu, Syeikh Al-Palimbani menerima pengajaran agama dari orang tuanya,
selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbing dirinya. Minatnya
terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terlihat sejak usia dini. Ia misalnya tercatat
mendalami ilmu tasawuf dengan mendalami kitab At-Tuhfah Al-Mursalah (Anugerah
yang Diberikan) dari salah seorang gurunya, Syeikh Abdul Rahman bin Abdul Aziz
Al-Maghribi.
Ia juga mempelajari ilmu Suluk
dari Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf dari
Syeikh Abdur Rauf Al-Sinkili dan Samsuddin Al-Sumaterani, keduanya dari Aceh.
Selain di kampung halamannya, Syeikh Al-Palimbani juga mendapatkan pendidikan
agama di daerah Kedah dan Patani (Thailand Selatan). Karena sedari kecil lebih
banyak mempelajari ilmu tasawuf, sejarah kemudian mencatat dirinya sebagai
ulama yang memiliki spesialisasi dalam cabang ilmu tersebut.
Merasa kurang puas dengan ilmu
yang dicapainya, orang tua Al-Palimbani kemudian mengirim anaknya itu ke tanah Suci,
Haramayn, Mekkah, dan Madinah. Tidak jelas, kapan ia dikirim ke salah satu
pusat ilmu Islam di kala itu. Sejauh yang terekam oleh sejarah, ia diperkirakan
menginjak dewasa ketika 'hijrah' ke Arabia tersebut. Di negeri barunya ini, ia
terlibat dalam komunitas orang-orang Jawa, dan menjadi kawan seperguruan
menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya. Misalnya, Muhammad Arsyad
Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Dawud Al-Fatani.
Meski ia menetap di Mekkah, tak berarti ia melupakan negri leluhurnya. Syeikh
Al-Palimbani, catat Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada
perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak kepindahannya di Haramayn
ini, Syeikh Al-Palimbani mengalami perubahan signifikan berkaitan dengan
intelektualitas dan spiritualitas. Perkembangan dan perubahan ini tidak lepas
dari proses pencerahan yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang
masyhur dan berandil besar dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin
Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun'im
Al-Damanhuri. Selain itu, juga tercatat pernah mengajar Al-Palimbani, semisal
ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah
Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan
tempat-tempat lainnya, mengantarkan dirinya menjadi salah seorang ulama
Nusantara yang disegani dan dihormati kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Meski mendalami tasawuf, tak
berarti Syeikh Al-Palimbani tidak kritis. Ia tercatat kerap mengkritik kalangan
yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Tak henti-hentinya, ia selalu
mengingatkan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat
tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak
kesesatan di Aceh. Ia memang tak berhenti pada kritik semata. Untuk mencegah
apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palimbani menyarikan dua kitab
karangan ulama dan filosof besar abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yakni kitab
Lubab Ihya' Ulumud Diin (Intisari Ihya' Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah
(Awal bagi suatu hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya moderat dan
membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran tarekat sufiyah.
Berkaitan dengan ajaran
tasawufnya, Syeikh Al-Palimbani dinilai mengambil jalan tengah antara doktrin
tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wihdatul wujud-nya Ibnu 'Arabi; bahwa
manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang Hakikat Yang Maha
Esa itu dalam fenomena alam yang serba ganda dengan tingkat makrifat tertinggi,
sehingga mampu melihat Allah SWT sebagai esensi mutlak.
Selain itu, Syeikh Al-Palimbani
juga mengajarkan ajaran-ajaran tarekat Al-Khawatiyah Al-Sammaniyah, yang
menempatkan guru tarekat tidak saja sebagai pembimbing kerohanian, tapi juga
sebagai penghubung antara murid dan Tuhan, bila ingin dikenal secara langsung.
Di Indonesia sendiri, pengaruh Al-Palimbani dinilai cukup besar, khususnya
berkaitan dengan ajaran tasawuf. Petualangan panjangnya baru berakhir pada
1788, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya, dalam usia senja.
Ulama Produktif dengan Sejumlah
Karya
Tak disangkal lagi, peranan
penting Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani dalam percaturan perkembangan Islam di
Nusantara bukan lantaran keterlibatannya dalam komunitas jaringan ulama. Namun,
lebih karena tulisan-tulisan Syeikh Al-Palimbani yang banyak dibaca pelbagai
kalangan di wilayah Melayu-Indonesia, dan sebagian di dunia Arab, hingga saat
ini.
Bila dicermati, karya-karya
Al-Palimbani menyebarkan bukan saja ajaran-ajaran neosufisme, tetapi juga
secara proaktif menekankan kepada umat Islam akan pentingnya melancarkan jihad.
Yakni, melawan kaum kolonialis Eropa, terutama Belanda, yang kala itu secara
terus menerus melakukan upaya-upaya menundukkan seluruh entitas politik Muslim
di bumi Nusantara.
Dalam konteks ini, Syeikh
Al-Palimbani menulis buku Nasihah Al-Muslimin wa Tazkirah al-Mukminin Fi Fadail
Jihad Fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi kaum muslimin dan
peringatan bagi kaum mukminin mengenai keutamaan Jihad di jalan Allah SWT). Tak
syak lagi, seruan jihadnya, sebagaimana tertuang dalam karyanya tersebut,
sampai kepada kaum muslimin internasional.
Latar belakang Syeikh
Al-Palimbani menulis buku tersebut antara lain dilandasi keprihatinanya atas
nasib dunia Islam yang kala itu tengah dalam cengkeraman kolonial Eropa.
Karyanya itu memang dinilai berbobot. Bahkan pahlawan nasional Tengku Cik Di
Tiro, penulis buku Hikayat Perang Sabil juga mengutip karya Al-Palimbani
tersebut.
Karya lainnya yang tercatat
monumental adalah dalam kaitan keimanan dan ketauhidan. Di bidang ini ia
menulis Tuhfat Ar-Raghibiin Fi Bayan Haqiqah Iman Al-Mukminin wa maa Yufsiduh
Fi Riddah Al-Murtadiin. Buku yang membahas tentang hakikat iman orang-orang
mukmin dan hal-hal yang merusaknya lantaran kemurtadan ini ditulis pada 1774.
Buku ini ia tulis atas permintaan Sultan Najmuddin, sultan Palembang. Syeikh
Al-Palimbani juga menulis kitab Sayr Al-Salikin Ila Ibadah Rabb Al-Alamin, yang
dikenal sangat berbobot itu.
Tak hanya itu, Syeikh
Al-Palimbani juga menulis buku dalam bahasa Melayu, antara lain; Zuhrad
Al-Murid Fi Bayan Al-Kalimah Tauhid (tentang persoalan logika dan teologi, yang
ditulis di Mekkah pada 1764 M), Al-Urwah Wusqa wa Silsilah Uli Al-Ittiqa (tentang
wirid, berbahasa Arab), Hidayah As Salikin Fi Suluk Maslak Al-Muttaqin
(Petunjuk jalan bagi orang yang ingin mencapai tingkat Taqwa, berbahasa
Melayu), yang ditulis di Mekkah pada 1778, serta buku Ratib Abdus Shamad
(mengenai ratib, yakni zikir, pujian, dan seterusnya). her
0 komentar:
Posting Komentar