Alamat Majelis :
Jalan Syekh A Somad Lorong Kemartan 22 ilir Palembang
Belakang Universitas Bina Husada

Selasa, 09 April 2013

Syeikh Abdus Shamad Al Palimbani









Syeikh Abdus Shamad Al Palimbani
Mengendalikan Perjuangan Dari Mekkah
Penulis : Hery Sucipto

Dalam percaturan intelektualisme Islam Nusantara --atau biasa juga disebut dunia Melayu-- khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.

Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.

Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh Al-Palimbani, sejauh yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi. Mana dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdus Shamad, Azyumardi berpendapat bahwa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdus Shamad.

Kesimpangsiuran nama ulama ini dapat dimaklumi mengingat sejarah panjangnya berpetualang, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Bila ditilik latar belakang, potret Al-Palimbani sebenarnya tak jauh beda dengan ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansur, Al-Raniri, Al-Singkili, Yusuf Al-Maqassari, hingga para ulama generasi pelanjut, semisal KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari.

Dari silsilah, nasab Syeikh Al-Palimbani masih keturunan Arab, yakni dari jalur ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Palimbani, adalah ulama asal Yaman yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperistri Sheikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya sempat menikahi Wan Zainab, putri Dato' Sri Maharaja Dewa di Kedah.

Seperti lazimnya anak-anak kecil di masa itu, Syeikh Al-Palimbani menerima pengajaran agama dari orang tuanya, selain beberapa guru di kampungnya yang sempat membimbing dirinya. Minatnya terhadap ilmu-ilmu keagamaan telah terlihat sejak usia dini. Ia misalnya tercatat mendalami ilmu tasawuf dengan mendalami kitab At-Tuhfah Al-Mursalah (Anugerah yang Diberikan) dari salah seorang gurunya, Syeikh Abdul Rahman bin Abdul Aziz Al-Maghribi.

Ia juga mempelajari ilmu Suluk dari Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf dari Syeikh Abdur Rauf Al-Sinkili dan Samsuddin Al-Sumaterani, keduanya dari Aceh. Selain di kampung halamannya, Syeikh Al-Palimbani juga mendapatkan pendidikan agama di daerah Kedah dan Patani (Thailand Selatan). Karena sedari kecil lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, sejarah kemudian mencatat dirinya sebagai ulama yang memiliki spesialisasi dalam cabang ilmu tersebut.

Merasa kurang puas dengan ilmu yang dicapainya, orang tua Al-Palimbani kemudian mengirim anaknya itu ke tanah Suci, Haramayn, Mekkah, dan Madinah. Tidak jelas, kapan ia dikirim ke salah satu pusat ilmu Islam di kala itu. Sejauh yang terekam oleh sejarah, ia diperkirakan menginjak dewasa ketika 'hijrah' ke Arabia tersebut. Di negeri barunya ini, ia terlibat dalam komunitas orang-orang Jawa, dan menjadi kawan seperguruan menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya. Misalnya, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Dawud Al-Fatani. Meski ia menetap di Mekkah, tak berarti ia melupakan negri leluhurnya. Syeikh Al-Palimbani, catat Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.

Sejak kepindahannya di Haramayn ini, Syeikh Al-Palimbani mengalami perubahan signifikan berkaitan dengan intelektualitas dan spiritualitas. Perkembangan dan perubahan ini tidak lepas dari proses pencerahan yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berandil besar dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun'im Al-Damanhuri. Selain itu, juga tercatat pernah mengajar Al-Palimbani, semisal ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, mengantarkan dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati kalangan ulama Arab, juga Nusantara.

Meski mendalami tasawuf, tak berarti Syeikh Al-Palimbani tidak kritis. Ia tercatat kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Tak henti-hentinya, ia selalu mengingatkan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh. Ia memang tak berhenti pada kritik semata. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palimbani menyarikan dua kitab karangan ulama dan filosof besar abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yakni kitab Lubab Ihya' Ulumud Diin (Intisari Ihya' Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal bagi suatu hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya moderat dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran tarekat sufiyah.

Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palimbani dinilai mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran wihdatul wujud-nya Ibnu 'Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang Hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba ganda dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu melihat Allah SWT sebagai esensi mutlak.

Selain itu, Syeikh Al-Palimbani juga mengajarkan ajaran-ajaran tarekat Al-Khawatiyah Al-Sammaniyah, yang menempatkan guru tarekat tidak saja sebagai pembimbing kerohanian, tapi juga sebagai penghubung antara murid dan Tuhan, bila ingin dikenal secara langsung. Di Indonesia sendiri, pengaruh Al-Palimbani dinilai cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Petualangan panjangnya baru berakhir pada 1788, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya, dalam usia senja.


Ulama Produktif dengan Sejumlah Karya

Tak disangkal lagi, peranan penting Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani dalam percaturan perkembangan Islam di Nusantara bukan lantaran keterlibatannya dalam komunitas jaringan ulama. Namun, lebih karena tulisan-tulisan Syeikh Al-Palimbani yang banyak dibaca pelbagai kalangan di wilayah Melayu-Indonesia, dan sebagian di dunia Arab, hingga saat ini.

Bila dicermati, karya-karya Al-Palimbani menyebarkan bukan saja ajaran-ajaran neosufisme, tetapi juga secara proaktif menekankan kepada umat Islam akan pentingnya melancarkan jihad. Yakni, melawan kaum kolonialis Eropa, terutama Belanda, yang kala itu secara terus menerus melakukan upaya-upaya menundukkan seluruh entitas politik Muslim di bumi Nusantara.

Dalam konteks ini, Syeikh Al-Palimbani menulis buku Nasihah Al-Muslimin wa Tazkirah al-Mukminin Fi Fadail Jihad Fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin (Nasihat bagi kaum muslimin dan peringatan bagi kaum mukminin mengenai keutamaan Jihad di jalan Allah SWT). Tak syak lagi, seruan jihadnya, sebagaimana tertuang dalam karyanya tersebut, sampai kepada kaum muslimin internasional.

Latar belakang Syeikh Al-Palimbani menulis buku tersebut antara lain dilandasi keprihatinanya atas nasib dunia Islam yang kala itu tengah dalam cengkeraman kolonial Eropa. Karyanya itu memang dinilai berbobot. Bahkan pahlawan nasional Tengku Cik Di Tiro, penulis buku Hikayat Perang Sabil juga mengutip karya Al-Palimbani tersebut.

Karya lainnya yang tercatat monumental adalah dalam kaitan keimanan dan ketauhidan. Di bidang ini ia menulis Tuhfat Ar-Raghibiin Fi Bayan Haqiqah Iman Al-Mukminin wa maa Yufsiduh Fi Riddah Al-Murtadiin. Buku yang membahas tentang hakikat iman orang-orang mukmin dan hal-hal yang merusaknya lantaran kemurtadan ini ditulis pada 1774. Buku ini ia tulis atas permintaan Sultan Najmuddin, sultan Palembang. Syeikh Al-Palimbani juga menulis kitab Sayr Al-Salikin Ila Ibadah Rabb Al-Alamin, yang dikenal sangat berbobot itu.

Tak hanya itu, Syeikh Al-Palimbani juga menulis buku dalam bahasa Melayu, antara lain; Zuhrad Al-Murid Fi Bayan Al-Kalimah Tauhid (tentang persoalan logika dan teologi, yang ditulis di Mekkah pada 1764 M), Al-Urwah Wusqa wa Silsilah Uli Al-Ittiqa (tentang wirid, berbahasa Arab), Hidayah As Salikin Fi Suluk Maslak Al-Muttaqin (Petunjuk jalan bagi orang yang ingin mencapai tingkat Taqwa, berbahasa Melayu), yang ditulis di Mekkah pada 1778, serta buku Ratib Abdus Shamad (mengenai ratib, yakni zikir, pujian, dan seterusnya). her

0 komentar:

Posting Komentar

 
Admin
Silahkan Pilih
Login